Daftar kunjungan

Kamis, 25 April 2013

Pembelajaran terpadu

v  Pengertian Pembelajaran Terpadu
Menurut Cohen dan Manion (1992) dan Brand (1991), terdapat tiga kemungkinan variasi pembelajaran terpadu yang berkenaan dengan pendidikan yang dilaksanakan dalam suasana pendidikan progresif yaitu kurikulum terpadu (integrated curriculum), hari terpadu (integrated day), dan pembelajaran terpadu (integrated learning). Kurikulum terpadu adalah kegiatan menata keterpaduan berbagai materi mata pelajaran melalui suatu tema lintas bidang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna sehingga batas antara berbagai bidang studi tidaklah ketat atau boleh dikatakan tidak ada. Hari terpadu berupa perancangan kegiatan siswa dari sesuatu kelas pada hari tertentu untuk mempelajari atau mengerjakan berbagai kegiatan sesuai dengan minat mereka. Sementara itu, pembelajaran terpadu menunjuk pada kegiatan belajar yang terorganisasikan secara lebih terstruktur yang bertolak pada tema-tema tertentu atau pelajaran tertentu sebagai titik pusatnya (center core / center of interest);
Menurut Prabowo (2000:2), pembelajaran terpadu merupakan pendekatan belajar mengajar yang melibatkan beberapa bidang studi. Pendekatan belajar mengajar seperti ini diharapkan akan dapat memberikan pengalaman yang bermakna kepada anak didik kita. Arti bermakna disini dikarenakan dalam pembelajaran terpadu diharapkan anak akan memperoleh pemahaman terhadap konsep-konsep yang mereka pelajari dengan melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah mereka pahami.
v  Karakteristik Pembelajaran Terpadu
Menurut Depdikbud (1996:3),pembelajaran terpadu sebagai suatu proses mempunyai beberapa karakteristik atau ciri-ciri yaitu: holistik, bermakna, otentik, dan aktif.
1. HOLISTIK
Suatu gejala atau fenomena yang menjadi pusat perhatian dalam pembelajaran terpadu diamati dan dikaji dari beberapa bidang kajian sekaligus,tidak dari sudut pandang yang terkotak-kotak.Pembelajaran terpadu memungkinkann siswa untuk memahami suatu fenomena dari segala sisi. Pada gilirannya nanti, hal ini akan membuat siswa lebih arif dan bijak di dalam menyikapi atau mengahdapi kejadian yang ada di depan mereka.
2. BERMAKNA
Pengkajian suatu fenomena dari berbagai aspek seperti yang dijelaskan di atas, memungkinkan terbentuknya semacam jalinan antar konsep-konsep yang berhubungan yang disebut skemata . hal ini akan berdampak pada kebermaknaan dari materi yang dipelajari. Rujukan yang nyata dari semua konsep yang diperoleh ,dan keterkaitannya dengan konsep-konsep lainnya akan menambah kebermaknaan konsep yang dipelajari. Selanjutnya hal ini akan mengakibatkan pembelajaran yang fungsional.siswa mampu menerapkan perolehan belajarnya untuk memecahkan masalah-masalah yang muncul dalam kehidupannya.
3. OTENTIK
Pembelajaran terpadu memungkinkan  siswa memahami secara langsung prinsip dan konsep yang ingin dipelajarinya melalui kegiatan belajar secar langsung. Mereka memahami dari hasil belajarnya sendiri,bukan sekedar pemberitahuan guru. Informasi dan pengetahuan yang diperoleh sifatya lebih otentik. Misalnya, hukum pemantulan cahaya diperoleh siswa melalui eksperimen.Guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator dan katalisator,sedang siswa bertindak sebagai aktor pencari informasi dan pemberitahuan.
4. AKTIF
Pembelajaran terpadu menekankan keaktifan siswa dalam pembelajaran,baik secara fisik,mental,intelektual,maupun emosional guna tercapainya hasil belajar yang optimal dengan mempertimbangkan hasrat ,minat dan kemampuan siswa sehingga mereka termotivasi untuk terus-menerus belajar.Dengan demikaian pembelajaran terpadu bukan hanya sekedar merancang aktivitas-aktivitas dari masing -masing mata pelajran yang saling terkait.Pembelajaran terpadu bisa saja dikembanagkan dari suatu tema yang disepakati bersma dengan melirik aspek-aspek kurikulum yang bisa dipelajari secara bersama melalui pengembangan tema tersebut.
Mnurut Kunandar (2007) adalah :
1.      Pembelajaran terpusat pada anak
Pada dasarnya pembelajaran terpadu merupakan suatu system pembelajaran yang memberikan keleluasaan pada siswa, baik secara individu maupun secara kelompok. Siswa dapat aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip-prinsip dari suatu pengetahuan yang harus dikuasainya sesuai dengan perkembangannya. Siswa dapat mencari tahu sendiri apa yang dia butuhkan.
2.      Belajar melalui proses pengalaman langsung
Pembelajaran terpadu diprogramkan untuk melibatkan siswa secara langsung pada konsep dan prisip yang dipelajari dan memungkinkan siswa belajar dengan melakukan kegiatan secara langsung sehingga siswa akan memahami hasil belajarnya secara langsung. Siswa akan memahami hasil belajarnya sesuai dengan fakta dan peristiwa yang mereka alami, bukan sekedar memperoleh informasi dari gurunya. Guru lebih banyak bertindak sebagai fasilitator yang membimbing ke arah tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan siswa sebagai aktor pencari fakta serta informasi untuk mengembangkanpengetahuannya.
3.      Sarat dengan muatan saling keterkaitan, sehingga batasan antarmata pelajaran tidak begitu jelas
Pembelajaran terpadu memusatkan perhatian pada pengamatan dan pengkajian suatu gejala atau peristiwa dari beberapa mata pelajaran sekaligus, tidak dari sudut pandang yang terkotak-kotak/dibatasi. Sehingga memungkinkan siswa untuk memahami suatu fenomena pembelajaran dari segala sisi, yang pada gilirannya nanti akan membuat siswa lebih arif dan bijak dalam menyikapi atau menghadapi kejadian yang ada.

4.      Lebih menekankan kebermaknaan dan pembentukan pemahaman
Pembelajaran terpadu mengkaji suatu fenomena dari berbagai macam aspek yang membentuk semacam jalinan antarskema yang dimiliki oleh siswa, sehingga akan berdampak pada kebermaknaan dari materi yang dipelajari siswa. Hasil yang nyata didapat dari segala konsep yang diperoleh dan keterkaitannya dengan konsep-konsep lain yang dipelajari siswa. Hal ini mengakibatkan kegiatan belajar menjadi lebih bermakna. Dari kegiatan ini diharapkan dapat berakibat pada kemampuan siswa untuk dapat menerapkan apa yang diperoleh dari belajarnya pada pemecahan masalah-masalah yang nyata dalam kehidupan siswa tersebut sehari-hari.
5.      Lebih mengutamakan proses daripada hasil
Pada pembelajaran terpadu dikembangkan pendekatan discovery inquiry (penemuan terbimbing) yang melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran yaitu mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai proses evaluasi. Pembelajaran terpadu dilaksanakan dengan melihat keinginan, minat, dan kemampua siswa sehingga memungkinkan siswa termotivasi untuk belajar terus-menerus. Bila guru merasa kesulitan karena jumlah murid yang terlalu banyak guru bias meminta bantuan guru yang lain atau membagi-bagi anak dalam beberapa kelompok.
Menurut Konstelnik dkk (1991)
  1. Menyediakan pengalaman langsung tentang objek nyata
  2. Kegiatan menantang bagi anak
  3. Mengembangkan kegiatan sesuai minat dan bakat anak
  4. Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan baru
  5. Menyediakan kegiatan mengembangkan semua aspek perkembangan
  6. Mengakomodasikan kebutuhan anak
  7. Memberikan kesempatan bagi anak
  8. Menghargai perbedaan
  9. Menemukan cara untuk melibatkan anggota keluarga
v  Karakteristik perkembangan AUD
Perkembangan merupakan perubahan yang progresif dan kontinyu berkesinambungan dalam diri individu dari mulai lahir sampai mati. Syamsu (2006: 17) memberikan definisi lain dari perkembangan yaitu: Perubahan-perubahan yang dialami oleh individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah).
Syamsu (2003: 17-20) mengungkapkan ada beberapa prinsip-prinsip dalam perkembangan, yaitu:
a. Perkembangan merupakan proses yang tidak pernah berhenti (never ending process).
b. Semua aspek perkembangan saling mempengaruhi.
c. Perkembangan mengikuti pola atau arah tertentu.
d. Perkembangan terjadi pada tempo yang berlainan.
e. Setiap fase perkembangan memiliki ciri khas.
f. Setiap individu yang normal akan mengalami fase perkembangan.

Perkembangan sebagai suatu proses yang selalu berkesinambungan menuju ke arah suatu organisasi pada tingkat integrasi yang lebih tinggi, berdasarkan proses pertumbuhan, kemasakan dan belajar. Jadi sesungguhnya perkembangan merupakan proses dalam pertumbuhan yang terjadi secara berkesinambungan dan menunjukkan adanya pengaruh dalam yang menyebabkan bertambahnya tempo, kualitas dalam pertumbuhan itu sendiri.
Hurlock (Sri Rumini. dkk, 1993: 23) menjelaskan bahwa dalam perkembangan ada dua proses yang bertentangan yang terjadi secara bersamaan selama kehidupan, yaitu pertumbuhan atau evolusi dan kemunduran atau involusi. Namun apapun pengertian tentang perkembangan,
      Perkembangan fisik motorik
Perkembangan fisik/motorik diartikan sebagai perkembangan dari unsur kematangan dan pengendalian gerak tubuh. Ketrampilan motorik kasar diawali dengan bermain yang merupakan gerakan kasar. Pada usia 3 tahun sesuai dengan tahap perkembangan, anak pada umumnya sudah menguasai sebagian besar ketrampilan motorik kasar. Sementara ketrampilan motorik halus baru mulai berkembang, yang diawali dengan kegiatan yang amat sederhana seperti memegang sendok, memegang pensil, mengaduk. Ketrampilan motorik halus lebih lama pencapaiannya dari pada ketrampilan motorik kasar karena ketrampilan motorik halus membutuhkan kemampuan yang lebih sulit misalnya konsentrasi, control, kehati-hatian, dan kondisi otot tubuh yang satu dengan yang lain.
Ketrampilan motorik anak pada usia 4-6 tahun mempunyai perbedaan dengan orang tua dalam hal (1) cara memegang, (2) cara berjalan dan (3) cara menyepak/menendang. Pada anak cara mamegang dilakukan dengan asal saja, sedangkan orang dewasa memegang benda dengan cara yang khas, agar dapat dipergunakan secara optimal.     Ketika orang dewasa berjalan, hanya memerlukan otot-ototnya yang diperlukan saja, sedangkan anak-anak berjalan seolah-olah semua tubuhnya ikut bergerak.  Dalam menyepak/menendang, anak-anak menyepak bola diikuti dengan kedua belah tangannya yang ikut maju kedepan secara berlebihan. Masa lima tahun pertama adalah masa emas bagi motorik anak.
Perkembangan ketrampilan motorik merupakan factor yang sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak secara keseluruhan. Elizabeth Hurlock (1956) mencatat beberapa alas an tentang fungsi perkembangan motorik bagi konstelasi perkembangan individu, yaitu sebagai berikut :
1.    Melalui ketrampilan motorik, anak dapat menghibur dirinya dan memperoleh perasaan senang, seperti anak merasa senang dengan memiliki ketrampilan memainkan boneka, melempar dan menangkap bola atau memainkan alat-alat lainnya.
2.    Melalui ketrampilan motorik anak dapat beranjak dari kondisi helplessness (tidak berdaya) pada bulan-bulan pertama kehidupannya, ke kondisi  yang independence (bebas tidak bergantung). Anak dapat bergerak dari satu tempat ketempat yang lainnya, dan dapat berbuat sendiri untuk dirinya. Kondisi ini akan menunjang perkembangan self confidence (rasa percaya diri).
3.    Melalui ketrampilan motorik, anak dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekolah (school adjustment). Pada usia TK atau pra sekolah, anak sudah dapat dilatih menulis, menggambar, mewarnai dll.
4.    Melalui perkembangan motorik yang normal memungkinkan anak dapat bermain atau bergaul dengan teman sebayanya,  sedangkan yang tidak normal akan menghambat anak untuk dapat bergaul dengan teman sebayanya bahkan dia akan dikucilkan atau menjadi anak yang fringer (terpinggirkan).
5.    Perkembangan ketrampilan motorik sangat penting bagi perkembangan self concept atau kurang konsep diri/kepribadian anak.
      Perkembangan kognitif
Berdasarkan pengertian perkembangan, banyak pemikiran yang timbul dari para tokoh psikologi tentang perkembangan pada anak usia dini. Namun ada dua pemikir besar yang mempengaruhi pemikiran mengenai perkembangan pada anak usia dini dalam penelitian ini. Dua tokoh psikologi tersebut adalah Peaget dengan psikologi kognitifnya dan Lev Vygotsky dengan Psikologi konstruksi sosialnya.
a. Piaget
Piaget (Syamsu, 2006: 4-6) berpandangan bahwa konsep dasar perkembangan manusia dapat digambarkan dalam konsep fungsi dan struktur. Fungsi merupakan sebuah mekanisme biologis yang sama bagi setiap orang. Tujuan dari fungsi-fungsi ini adalah untuk menyusun struktur kognitif internal. Piaget mengungkapkan bagaimana dia mengelompokkan fungsi-fungsi dari individu, yaitu:
1) Organisasi, yang merujuk pada fakta bahwa semua struktur kognitif berinteraksi dalam berbagai pengalaman baru harus diselaraskan kedalam sistem yang ada.
2) Adaptasi, yang merujuk kepada kecenderungan organisme untuk menyelaraskan dengan lingkungan. Adaptasi ini terdiri dari dua sub proses, yaitu asimilasi dan akomodasi.
Peaget berpendapat bahwa Perkembangan kognitif (intelegensia) meliputi empat tahap, yaitu:

      Tahap sensorimotor (0-2 tahun), pada tahap ini pengetahuan diperoleh melalui interaksi fisik baik dengan orang tua maupun benda. Skema-skema baru berbentuk refleks-refleks sederhana, seperti menggenggam atau menghisap.
      Tahap praoperasional (3-6 tahun), pada tahap ini anak mulai menggunakan simbol-simbol untuk merepresentasi dunia (lingkungan) secara kognitif. Simbol-simbol tersebut seperti kata-kata dan bilangan yang dapat menggantikan objek, peristiwa dan kegiatan (tingkah laku yang tampak). Menurut Asri Budiningsih (2003: 37) Anak pada tahap praoperasional memiliki karakter:
§  self counter-nya sangat menonjol
§  Dapat mengklasifikasikan objek pada tingkat dasar secara tunggal dan mencolok
§  Mampu mengungpulkan barang-barang menurut kriteria
§  memahami bahwa jumlah objek adalah tetap sama meskipun objek itu dikelompokkan dengan cara yang berbeda
§  anak mulai memahami sejumlah objek yang teratur dan cara mengelompokkannya.
      Tahap operasi kongkret (7-11 tahun), Anak mulai dapat membentuk operasi-operasi mental atas pengetahuan yang mereka miliki. Mereka dapat menambah, mengurangi dan mengubah. Operasi ini memungkinkan untuk memecahkan masalah secara logis.
      Tahap operasi formal (12 tahun sampai dewasa), tahap ini merupakan operasi mental tingkat tinggi. Anak sudah dapat berhubungan dengan peristiwa-peristiwa hipotesis abstrak, tidak hanya dengan objek-objek kongkrit. Remaja sudah dapat berfikir abstrak dan memecahkan masalah melalui pengujian semua alternative yang ada.
Piaget (Gopnik. dkk, 2006: 44) menyimpulkan bahwa anak-anak tidak begitu saja mendapatkan pengetahuan dari orang dewasa, entah dari kehidupan masa silam maupun DNA. Piaget beranggapan bahwa anak memiliki mekanisme belajar yang luar biasa yang memungkinkan mereka mengkonstruksi gambar-gambar baru dunia, gambar-gambar yang mungkin sangat berbeda dengan gambar yang didapat oleh orang dewasa.


      Perkembangan sosio-emosional
Emosional dalam hal ini menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan perasaan si anak, baik itu perasaan, sedih, senang, kesal, gembira, dll. Sedangkan perkembangan sosial dalam hal ini adalah interaksi si anak dengan lingkungan, terutama orang-orang yang ada di sekitar si anak.
Perkembangan sosio emosisonal anak terbagi ke dalam beberapa tahap, yaitu:
  • Tahap percaya versus curiga (trust vs mistrust), usia anak 0-2 tahun, dalam tahap ini anak akan tumbuh rasa percaya dirinya jika mendapatkan pengalaman yang menyenangkan, namun akan tumbuh rasa curiga jika anak mendapat pengalaman yang tidak menyenangkan.
  • Tahap Mandiri versus Ragu ( Autonomy vs Shame), usia anak 2-3 tahun, perasaan mandiri mulai muncul tatkala anak sudah mulai menguasai seluruh anggota tobuhnya, sifat ragu dan malu akan muncul pada tahap ini ketika lingkungan tidak memberinya sebuah kepercayaan.
  • Tahap berinisiatif versus bersalah (initiative versus guilt), usia anak 4-5 tahun. Pada masa ini anak sudah mulai lepas dari orang tuanya, anak sudah mampu bergerak bebas dan berhubungan dengan lingkungan. Kondisi ini dapat menimbulkan inisiatif pada diri anak, namun jika anak masih belum bisa terlepas dari ikatan orang tuanya dan belum bisa berinteraksi dengan lingkungan, rasa bersalah akan muncul pada diri anak
      Perkembangan bahasa
Perkembangan bahasa pada anak dapat dimulai dari masih dalam kandungan. Anak adalah pebelajar yang konstruktif. Anak mempelajari bahasa dan konsep –konsep penting tanpa melalui pengajaran yang terencana secara khusus. Mereka hanya belajar ditengah-tengah orang yang menggunakan bahasa dan dengan memiliki akses yang tersedia terhadap lingkungan yang aman, menarik dan mengundang eksplorasi indera pendengaran dan indera penglihatan yang dapat membantu anak mengorganisasikan informasi dari lingkungannya.

Setiap anak memiliki perkembangan bahasa lisan yang berbeda-beda karena muatan informasi yang dapat dikumpulkan anak tidak hanya tergantung pada banyaknya dan jenis penglihatan dan pendengaran yang mereka miliki. Namun juga pada cara mereka belajar menggunakan penglihatan dan pendengaran itu. Masing-masing anak belajar memanfaatkan informasi sensorik yang tersedia dengan caranya sendiri. Beberapa anak berinteraksi dengan dunianya terutama dengan sentuhannya; sementara yang lain mungkin lebih bergantung pada penglihatan dan pendengarannya. Bagi kebanyakan anak, kombinasi dari kesemuanya itu akan paling bermanfaat. Bagi anak lainnya, menggunakan pendengaran, penglihatan, dan sentuhan pada saat yang bersamaan terasa membingungkan dan, dalam situasi yang berbeda, mereka mungkin memilih untuk menggantungkan terutama pada satu indera.

      Perkembangan moral dan agama
1. Perkembangan Moral
Menurut Piaget, perkembangan moral anak-anak menengah dan akhir berada dalam suatu transisi antara dua tahap yaitu tahap realisme moral atau heteronomous morality dan tahap moralitas berdasarkan hubungan timbale balik atau disebut juga autonomous morality.
Dalam tahap realisme moral, anak melihat peraturan dari orang tua dan orang dewasa lainnya sebagai sesuatu yang tidak akan pernah berubah sehingga mereka harus senantiasa mentaati tanpa perlu mempertanyakannya. Mereka juga cenderung menaati peraturan secara kaku dan menilai kebenaran atau kebaikan berdasarkan konskuensi prilaku, bukan berdasarkan maksud atau motivasi si pelaku. Pada tahap ini juga berkembang ide immanent justice (keadilan abadi), yaitu suatu pemikiran bahwa pelanggaran peraturan pasti akan mendapatkan hukuman dengan segera, maupun itu dari orang, objek atau tuhan. Misalnya anak yang berbohong kepada ibunya dan kemudian jatuh dari sepeda sehingga lututnya terluka, akan berfikir bahwa kecelakaan itu terjadi sebagai hukuman karena ia telah berbohong kepada ibunya.
Sejalan dengan Piaget yang melihat perkembangan moral dari segi kognitif, Kohlberg juga menjelaskan tahapan-tahapan perkembangan anak berdasarkan perkembangan kognitif atau penalarannya. Hanya saja lebih kompleks dari teori Piaget. Menurut Kohlberg moral anak berkembang dalam tiga tahapan dan masing-masing tingkatan terdiri dari beberapa tahap, yaitu :
a. Moralitas Prakonvensional
Prilaku anak tunduk pada kendali eksternal, terdiri dari dua tahap, yaitu :
a. Berorientasi pada kepatuhan dan hukuman
Anak menunjukan kepatuhankepada orang dewasa untuk menghindari hukuman dan melihat moralitas suatu tindakan berdasarkan akibat fisiknya.
b. Berorientasi pada kepuasan dan tujuan sendiri
Anak berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan telah mengerti perlunya melakukan hubungan timbal balik dan berbagi dengan orang lain, namun masih bersifat manipulatif, lebih karena kepentingan sendiri (misalkan untuk mendapatkan hadiah atau pujian), bukan karena perasaan keadilan atau simpati yang sebenarnya.
b. Moralitas Konvensional
a. Moralitas anak yang baik
Mengembangkan norma-norma interpersonal, anak menyesuaikan diri dengan peraturan dan menunjukan perilaku yang baik seperti menghargai kebenaran, kepedulian dan kesetiaan., untuk mendapatkan persetujuan orang lain dan mempertahankan hubungan baik dengan mereka.
b. Otoritas dan moralitas sesuai sistem sosial
Anak yakin bahwa bila kelompok sosial menerima peraturan yang sesuai dengan kelompok, maka mereka berbuat harus sesuai aturan tersebut agar terhindar dari kecaman sosial. Anak sudah mampu menyesuaikan diri. Tidak saja dengan standar orang lain tetapi juga dengan tuntutan sosial. Pada tahap ini, pertimbangan-pertimbangan moral yang dilakukan anak didasarkan atas pemahaman terhadap peraturan, hokum, keadilan dan kewajiban yang ditetapkan oleh sosial.
c. Moralitas Pascakonvensional
a. Moralitas dengan pertimbangan kontrak sosial dan hak individual
Pada tahap ini, individu telah memahami bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan bersifat relative dan bahwa standar individu yang satu dengan individu yang lain dapat berbeda. Pada tahap ini, individu percaya bahwa harus ada keluwesan dalam keyakinan moral yang memungkinkan perubahan standar moral bila itu terbukti akan menguntungkan kelompok sebagai suatu keseluruhan.
b. Moralitas berdasarkan prinsip-prinsip individual dan suara hati
Individu menyesuaikan diri dengan standar sosial dan keinginan internal terutama lebih karena disebabkan untuk menhindari rasa tidak puas dengan diri sendiri dan bukan untuk menghindari kecaman sosial. Individu mengambil keputusan berdasarkan prinsip-prinsip abstrak yang universal dan rasa hormat terhadap orang lain, bukan berdasarkan padakepentingan sendiri
2. Pendidikan Agama Dasar Pembentukan Pribadi Anak
Dalam suatu pendidikan jangan hanya dituangkan pengetahuan semata-mata kepada anak didik, tetapi harus juga diperfiatikan pembinaan moral, sikap dan tingkah laku. Oleh karena itu, dalam setiap pendidikan pengetahuan harus ada pendidikan moral dan pembinaan kepribadian yang sehat. Dasar dan tujuan pendidikan moral biasanya ditentukan oleh pandangan hidup dari lembaga pendidikan itu sendiri, sertajuga harus sesuai dengan dasar dan tujuan negara. Kalau negara itu berdasarkan Demokrasi, maka pendidikan yang dilakukan terhadap anak-anakjuga bertujuan membinajiwa demokrasi. Begitu juga halnya kalau negara itu berdasarkan Otokratis, Ketuhanan.
Karena negara kita berdasarkan Pancasila, maka pendidikan harus bertujuan mempersiapkan anak didik untuk dapat menerima Pancasila dan menjadikan Pancasila sebagai dasar hidupnya. Untuk itu, pendidikan di sekolah harus ditujukan pada anak didik kesadaran-kesadaran sebagai berikut.
a. Kepercayaan dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
 b. Sikap dan tindakan harus sopan-santun dan berkeprimanusiaan
c. Rasa cinta terhadap bang   sa dan Tanah Air
d.Menumbuhkanjiwa Demokratis
e. Rasa keadilan, kejujuran, kebenaran dan menolong orang lain.
Arah dan tujuan pendidikan ini hanya dapat dicapai kalau pendidikan itu mencakup pendidikan agama.
a. Pentingnya Pendidikan Agama
Rumah-tangga atau keluarga adalah tempat yang pertama dan utama bagi anak untuk memperoleh pembinaan mental dan pembentukan kepribadian, yang kemudian ditambah dan disempurnakan oleh sekolah. Demikian pula halnya pendidikan agama, harus dilakukan oleh orang membiasakannya pada tingkah-laku dan akhlak yang diajarkan oleh agama. ada masa ini anak belum mengerti tentang akhlak-akhlak yang baik, seperti kejujuran dan keadilan (terlalu abstrak), Untuk merealisasikannya, orang yang relevan dengan hal tersebut, agar anak dapat meniru dengan baik. Untuk itu, orangtua harus memberikan perlakuan yang adil serta dibiasakan pula untuk berbuat adil sehingga rasa keadilan dapat tertanam dalam jiwanya, juga dengan nilai-nilai agama dan kaidah-kaidah sosial lainnya yang menjadi dasar untuk pembinaan mental dan kepribadian anak itu sendiri. Kalau pendidikan agama tidak diberikan kepada anak sejak kecil, maka akan berakibat hal-hal sebagai berikut.
 a. Tidak terdapat unsur agama dalam kepribadiannya sehingga sukar baginya untuk menerima ajaran itu kalau ia telah dewasa; dan b. Mudah melakukan segala sesuatu menurut dorongan dan keinginan jiwanya tanpa memperhatikan hukum-hukum atau norma-norma yang berlaku. Sebaliknya kalau dalam kepribadian seseorang terdapat nilai-nilai dan unsur-unsur agama, maka segala keinginan dan kebutuhan dapat dipenuhi dengan cara yang wajar dan tidak melanggar hukum-hukum agama. Sesuai dengan dasar negara kita Pancasila, dengan sila pertamanya ke-Tuhanan Yang Maha Esa, maka kepribadian warga negara berisi kepercayaan yang menjadi bagian dari kepribadian tidak hanya dapat diucapkan secara lisan saja, tetapi harus disertai dengan perbuatan. Hal ini hanya mungkin melalui pendidikan agama, karena kepercayaan bahwa Tuhan itu ada harus disertai dengan kepercayaan kepada ajaran, hukum, dan peraturan-peraturan yang ditentukan oleh Tuhan. Dengan demikian jelaslah bahwa semua itu menjadi dasar dalam pembinaan mental dan pembentukan kepribadian yang akan mengatur sikap, tingkahlaku dan cara menghadapi segala problem dalam hidup.Mengingat pentingnya pendidikan agama bagi pembinaan mental dan akhlak anak-anak, dan karena banyak orangtua yang tidak mengerti agama, maka pendidikan agama harus dilanjutkan di sekolah.
b. Pendidikan Agama di Sekolah
Pendidikan agama di sekolah bertujuan untuk membina dan menyempumakan pertumbuhan dan kepribadian anak didik. Pendidikan agama di sekolah meliputi dua aspek penting: 1. Aspek’ pembentukan kepribadian (yang ditujukan kepada jiwa). Tugas guru dalam hal ini adalah: a. Menyadarkan anak didik tentang adanya Tuhan dan membiasakan anak didik untuk melakukan perintah-perintah Tuhan serta meninggalkan larangan-larangannya; b. Melatih anak didik untuk melakukan ibadah dengan praktek-praktek agama, sehingga membawa dekatnya jiwa anak kepada Tuhan; dan c. Membiasakan anak didik untuk mengatur sopan-santun dan tingkah-laku yang sesuai dengan ajaran akhlak. Sifat ini harus ditanamkan melalui praktek dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: kasih sayang sesama kawan, tabah, benar, adil, dan lain-lain. 2. Pengajaran agama(ditujukan kepada pikiran). Isi dari ajaran agama harus diketahui betul-betui, agar kepercayaan kepada Tuhan menjadi sempurna. Maka tugas dari guru agama adalah menunjukkan apa yang disuruh, apa yang dilarang, apa yang boleh, apa yang dianjurkan melakukan, dan apa yang dianjurkan meninggalkan sesuai dengan ajaran agama.
      Pentingnya Pembelajaran bagi Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini (Early Childhood Education) merupakan bidang ilmu yang relatif baru. Bila sebelumnya anak didik berdasarkan pemahaman orang dewasa saja bagaimana cara memperlakukan anak dan apa yang terbaik bagi anak, saat ini setelah berkembang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), diharapkan anak dapat diperlakukan sesuai dengan kebutuhan perkembangannya sehingga anak tumbuh sehat jasmani dan rohani. Anak pun dapat diperhatikan secara komprehensif. Pembelajaran anak usia dini merupakan proses interaksi antara anak, orang tua, atau orang dewasa lainnya dalam suatu lingkungan untuk mencapai tugas perkembangan. Interaksi yang dibangun tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi tercapainya tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Hal ini disebabkan interaksi tersebut mencerminkan suatu hubungan di antara anak akan memperoleh pengalaman yang bermakna, sehingga proses belajar dapat berlangsung dengan lancar. Vygotsky berpendapat bahan pengalaman interaksi sosial merupakan hal yang penting bagi perkembangan proses berpikir anak. Aktivitas mental yang tinggi pada anak dapat terbentuk melalui interaksi dengan orang lain. Greeberg (Isjoni, 2006) melukiskan bahwa pembelajaran dapat efektif jika anak dapat belajar melalui bekerja, bermain dan hidup bersama dengan lingkungannya. Pembelajaran untuk anak usia dini bukan berarti anak harus disekolahkan pada umur yang belum seharusnya, dipaksa untuk mengikuti pelajaran yang akhirnya justru membuat anak menjadi terbebani dalam mencapai tugas perkembangannya. Pembelajaran untuk anak usia dini pada dasarnya adalah pembelajaran yang kita berikan pada anak agar anak dapat berkembang secara wajar.


BAB III
PENUTUP
a.        Kesimpulan
Pada hakikatnya anak belajar sambil bermain, oleh karena itu pembelajaran pada pada anak usia dini pada dasarnya adalah bermain. Sesuai dengan karakteristik anak usia dini yang bersifat aktif dalam melakukan berbagai ekplorasi terhadap lingkungannya, maka aktivitas bermain merupakan bagian dari proses pembelajaran. Untuk itu pembelajaran pada usia dini harus dirancang agar anak merasa tidak terbebani dalam mencapai tugas perkembangnya. Proses pembelajaran yang dilakukan harus berangkat dari yang dimiliki anak. Setiap anak membawa seluruh pengetahuan yang dimilikinya terhadap pengalaman-pengalaman baru.
a.      SARAN
Demikianlah makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah pembelajar terpadu, apabila ada kesalahan dalam penulisan kami memohon maaf.
 
Referensi
Lilis Suryani dkk. (2008) Metode Pengembangan Perilaku dan Kemampuan Dsar Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka.
Masitoh dkk. (2005) Strategi Pembelajaran TK. Jakarta: 2005
Joan Freeman & Utami Munandar. (1994). Cerdas dan Cemerlang. Kiat Menemukan Bakat Anak Usia 0-5 tahun. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Khamid Wijaya, dr. Audrey Luize, dkk. (February 2004) Mencetak Anak Cedas?...Gampang!. www.balitacerdas.com: 20 Mei 2007